Rabu, 26 Oktober 2011

Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada Tataran Non Ilmiah

Wacana non ilmiah atau disebut juga wacana fiksi ini berorientasi pada imajinasi.Biasanya Tampilan dan bahasanya mengandung keindahan (estetika).mungkin sekali wacana fiksi berisi fakta atau kenyataan tetapi gaya penyampaiannya indah, walaupun begitu karya semacam itu tetap tergolong karya fiktif karena proses penciptaan dan sifatnya memang fiktif. Bahasanya konotatif, analogis dan multiinterpretatif karena pada umumnya berdasarkan asas kebebasan berpuisi dan kebebasan bergramatika.

Contoh wacana non ilmiah
  
Cinta Adikku
“Mbak kenalin, ini Mutia …Mutia ini Mbak Rieka…”
Aku mendongak dari kertas kerjaku mendapati Ben adikku dan seorang gadis di sampingnya. Ia mengulurkan tangannya kepadaku.
“Hai,…aku Rieka, mudah mudahan Ben cerita yang baik baik saja tentang aku..”selorohku sambil mataku menyisir gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Ben cerita tentang Mbak baik semua kok Mbak..” gadis itu menuai senyum.
Ben mengajak Mutia ke ruang keluarga meninggalkan kamar kerjaku setelah sedikit berbasa basi aku meneriakkan Surti menghidangkan minuman.
Melihat mereka keluar aku tersandar di kursi kerjaku. Tulisan yang sejak sejam lalu berusaha kurampungkan terabaikan.
Kuperhatikan punggung mereka berdekatan di depan TV di ruang keluarga. Kulit Ben yang putih bersih begitu kontras dengan Mutia, gadis itu. Menurut ku seperti iklan Benetton.
Aku berpikir apakah Ben sedang mabuk atau kena trauma di suatu tempat, sehingga belakangan ini ceritanya padaku melulu soal Mutia yang ditemuinya di kampus. Dalam bayanganku selama ini, gadis bernama Mutia itu..pastinya cantik, berkulit putih bersih, berambut lurus berkilau seperti iklan shampoo. Minimal tidak kurang cantik dengan mantan mantan Ben yang dulu ; Shirley yang wajahnya kerap muncul di cover majalah ,Mitha pramugari sebuah Maskapai nomor satu di Indonesia, Clara dan Susan, dua nama terakhir itu teman sekampusnya. Aku pernah sampai pusing menerima puluhan sms dari gadis gadis itu ,meratapi hubungannya dengan Ben yang kandas satu persatu.
Ben adikku memang berbeda. Wajahnya mewarisi wajah Papa. Hidungnya bangir, kulitnya bersih dengan garis laki laki yang membuatnya terlihat begitu jantan. Dia seperti pangeran pangeran tampan di komik komik jepang. Tubuhnya begitu atletis padahal ia tidak begitu rajin meluangkan waktunya untuk kebugaran. Berjalan dengan Ben di pertokoan terkadang membuatku risih juga, karena pastinya beberapa pasang mata akan menoleh kesekian kalinya pada Ben, bahkan para pencari bakat yang gemar duduk duduk di Mall untuk mencari bintang bintang baru kerap menyambangi kami. Ben Cuma tertawa dan bilang tidak.
Kini Ben kembali memperkenalkan seorang gadis yang dicintainya padaku. Apa yang kubayangkan tentang seorang Mutia buyar sudah. Yang dibawa Ben ke hadapanku bukan seorang gadis cantik berparas bak manekin di toko baju, tapi seorang gadis biasa. Sangat sangat biasa. Tidak semampai, rambutnya tidak terurai lurus berkilau tapi ikal dan tambah aneh dengan diikat bergelung, dan berkulit hitam.
“Mbak, kita mau pesan Pizza, Mbak mau apa?” tiba tiba Ben sudah di hadapanku lagi, berdiri dengan tubuhnya yang menjulang atletis. Adikku yang ganteng ini.
“Mbak…Mbak nggak kenapa kenapa kan?”
Aku berdehem mengusir halusinasiku barusan. Walaupun itu nyata bukan ilusi belaka.
“Ben, itu…Mutia yang itu ..kan?”
Alis mata Ben bertaut, kelihatan sekali ia bingung. Ia melirik ke arah ruang TV dimana Mutia-nya masih duduk manis di situ.
“Ya…iya…yang belakangan ini aku cerita ke Mbak…pacarku….kenapa sih..?”
“Ooh…ya nggak apa apa…”kataku sambil memusatkan pandangan ke laptop.
“Mbak pesenin salad saja,Ben…”
Ben berlalu lagi dari hadapanku. Aku menatap punggungnya gamang



Dikutip dari http://radenfuad.com/cerpen-terbaru-2011-2010203.html  
Referensi : Keutuhan Wacana Oleh Junaiyah H.M., E. Zaenal Arifin

0 komentar: